TIGA KALI DIPERIKSA JAKSA, SEKDA TOLITOLI ASRUL BANTILAN MENUJU KURSI TERSANGKA
Infoaktual.id Tolitoli | Setelah tiga kali diperiksa Jaksa, mantan Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD), kini Sekda Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah (Sulteng), Moh Asrul Bantilan S.Sos tampaknya segera menjadi tersangka baru atas kasus proyek pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) 2016 di RSUD Mokopido Tolitoli sebesar Rp 800 Juta.
Bagaimana tidak, seperti ditulis nussa.co 3/9/2024 Asrul diperiksa menyusul nyanyian mantan kepala Dinas Kesehatan Tolitoli Bakrie Idrus kepada sejumlah Media Lokal yang sebelumnya telah ditetapkan tersangka bersama PPK nya, Nuraeni.
Dan, kejari sepertinya bakal segera merilis Asrul sebagai tersangka baru dalam kasus yang terjadi diera kepemimpinan Bupati Alex Bantilan itu.
“Kami masih terus mendalami sejumlah keterangan saksi, termasuk keterangan tersangka BI (Bakrie Idrus,red) kepada awak media yang dugaan keterlibatan mantan Kepala BKD Asrul Bantilan. Kita masih mendalami hal itu,” ujar Kajati Tolitoli Albertinus P. Napitupulu SH MH.
Hal tersebut diungkap Kajari usai pemeriksaan ketigakalinya terhadap Asrul Bantilan, Selasa 02/09/2024 siang di lantai II Kejari Tolitoli. Asrul tiba di Kejari pukul 10.50 dari jadwal sebenarnya jam 10.00 Wita. “Kemungkinan ada kesibukan lain pak sekda,” tambah Kajari.
Tim penyidik terang Kajari, saat ini telah melakukan pemeriksaan terhadap lebih dari 10 orang saksi, termasuk saksi ahli. Dan kemungkinan munculnya tersangka baru bisa saja terjadi jika alat bukti yang ada mengarah pada bukti tersangka baru.
“Jika diduga kuat ada keterlibatan nama lain, ya kita akan lakukan penetapan tersangka baru. Kita tunggu saja hasil pemeriksaan tim, nanti akan ada ekspos,” tegasnya, sambal menambahkan kurang lebih dua jam Sekkab diperiksa seputar perannya dalam proses penganggaran pengadaan Alkes itu.
Pada kabar sebelumnya tersangka Bakrie Idrus membeberkan bahwa pengadaan alkes ada di 14 Puskesmas, namun setelah pemeriksaan BPK ternyata barang itu muncul di e-katalog. Sehingga, sesuai ketentuan, harus melewati proses tender.
“Hasil pemeriksaan, BPK memerintahkan saya selaku kepala dinas agar mengoreksi harga sebelum dibayar. Tetapi, ada surat bupati memerintahkan saya untuk menentukan posisi harga,” beber Bakrie.
Setelah itu kata mantan calon wakil Bupati 2020 itu, dilakukanlah restrukturisasi harga sesuai persetujuan kontraktor, BPK bersama mantan Kabinkes 2020, Anjas guna melakukan revisi. Setelah revisi, lalu diserahkan ke bagian keuangan. Selanjutnya diserahkan ke BPK, ke Inspektorat kemudian bendahara.
Diterangkan Bakri, waktu melakukan penagihan pertama, cairlah sebesar Rp 2 M, dan terjadi pembayaran. Anehnya, setelah itu tiba-tiba kegiatan itu muncul lagi dalam daftar, padahal Dinkes tidak mengajukan ke bagian keuangan, tetapi keuangan malah membuat kegiatan itu, dan terdaftar sebagai program.
Terhadap itu, Bakrie Idrus bersikukuh bahwa seharusnya bagian keuangan dalam hal ini Asrul Bantilan juga harus bertanggungjawab. Sebab, Asrul saat itu menjabat sebagai Kaban Keuangan, dan ada pula perintah bupati, kalaitu Alex Bantilan agar membuat revisi.
“Saya minta penyidik kejaksaan profesional dalam menangani kasus ini. Jika ditarik benang merahnya, seharusnya Asrul selaku kepala BKD saat itu juga harus jadi tersangka,” pintanya.
Adapun alasan dia meminta Asrul Bantilan ikut diseret dalam kasus ini, karena menduga Asrul Bantilan cukup berperan, sehingga terjadi kelebihan anggaran sebesar Rp 800 juta.
“Pengadaan Alkes dimasa saya masih menjabat kepala dinas, setahu saya telah lunas terbayar, saya sama sekali tidak tahu. Setelah saya tidak menjabat lagi, ternyata dianggarkan lagi sebesar RP 800 juta, dan berhasil dicairkan. Harusnya dikejar siapa yang menganggarkan, dan siapa saja yang mencairkan, mereka juga harus ditetapkan tersangka,” tekan Bakrie.
Pengadaan Alkes 2016 untuk sejumlah PKM itu kata Bakri, awalnya sebesar Rp 3,5 miliar, namun kemudian di tengah proses pengadaan, BPK menemukan ketidaksesuaian harga karena tidak mengacu pada e-Katalog. Lantas, BPK merekomendasikan kepada bupati supaya melakukan revisi harga, hingga kemudian terjadi perubahan harga menjadi Rp 2,6 miliar.
Diungkapkan Bakrie, pengadaannya dilaksanakan pada 2016, namun baru terbayarkan tahun 2017 sebesar Rp 2 miliar. Karena alasan keterbatasan anggaran, tahun 2018 tidak terbayarkan, dan kembali dianggarkan dan terbayar pada tahun 2019 sebesar Rp 800 juta.
“Saat itu kami diwajibkan mengembalikan kelebihan pembayaran kurang lebih 200 juta, karena total kekurangan pembayaran sekitar 600 juta dari 2,6 miliar sesuai ketetapan harga hasil perubahan harga, sesuai rekomendasi BPK,” papar Bakrie.
Masalahnya sambungnya, di tahun 2020 saat ia tidak lagi menjabat, tiba-tiba muncul lagi anggaran sebesar RP 800 juta, dan berhasil dicairkan masuk ke rekening perusahaan pengada.
“Siapa yang menganggarkan, siapa yang mencairkan, ini yang menjadi tanda tanya besar. Siapa Kepala BKD saat itu, dan siapa di Dinas Kesehatan yang melakukan proses terbitnya SPM (Surat Perintah Membayar), serta perusahaan yang menerima anggaran tersebut. Heharusnya mereka diseret juga menjadi tersangka, karena merekalah biang kerok terjadinya kerugian negara,” tutur Bakri dengan nada keras.
Oleh karena itu, bakrie meminta tim penyidik kejari Tolitoli lebih profesional dalam menangani kasus ini, sehingga pihak yang seharusnya bertanggung jawab turut pula dijadikan tersangka.
Sementara itu, Sekda Asrul menjelaskan selaku kepala BKD ia mengaku telah menerbitkan SP2D sebagai dasar pencarian dana Alkes dalam menindaklanjuti SPM yang diajukan oleh Dinas Kesehatan.
”Kepala Badan Keuangan juga berfungsi sebagai bendahara umum daerah. Jadi tugas pokok dan fungsi adalah mencairkan anggaran jika secara administrasi dinyatakan lengkap, termasuk SPM yang diajukan oleh dinas kesehatan, dan tidak ada alasan untuk tidak menerbitkan SP2D karena lengkap. Salah kita kalo tidak mencairkan,” jawab Asrul.
Apalagi kata dia, SPM yang diajukan dinas kesehatan tersebut telah melalui verifikasi ketat mulai dari penelitian serta kelengkapan dokumen, sehingga secara administrative Kasubdit pengelolaan Kas menerbitkan SP2D dan menyerahkan untuk ditandatanganinya.
Terkait keterangan timbulnya anggaran sebesar Rp 800 juta, Bondan selaku mantan Kabid Anggaran BKD Tolitoli mengatakan teranggarkannya pembayaran lebih tersebut karena masih mengacu pada nilai kontrak sebesar Rp 3,5 miliar.
Selain Kabid anggaran, mantan Kepala Dinas Kesehatan tahun 2020 Anjasmara yang juga diminta keterangan oleh penyidik menjelaskan selain menandatangani persetujuan perubahan harga sesuai permintaan BKP, ia mengaku sama sekali tidak terlibat soal proses pengajuan SPM.
“Saya hanya bertandatangan pada surat persetujuan revisi harga. Selain itu saya sama sekali tidak bertandatangan pada proses terbitnya SPM, semuanya ditandatangani PPK yang juga Kuasa Pengguna Anggaran pada proyek itu,” ujar anjasmara. (nussa.co/ham/hl)