Yogyakarta - Seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menjadi korban pelecehan seksual atau pencabulan oleh rekannya sendiri saat keduanya menjalani program KKN di Pulau Seram, Maluku, Juni 2017 lalu. Pelakunya adalah HS, mahasiswa Fakultas Teknik UGM.
Sebenarnya kasus tersebut sempat redup. Namun kasus ini kembali menjadi polemik setelah Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung menerbitkan artikel berjudul
'Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan' tanggal 5 November kemarin.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, Iva Aryani, membenarkan adanya pelecehan seksual ini. Sementara untuk merespon kasus ini, kata Iva, pihak UGM telah membentuk tim investigasi pada awal tahun 2018 lalu.
"Pelaksanaan investigasi April sampai Juli 2018. Setelah dibentuk tim (investigasi), tim melakukan berbagai rangkaian (tindakan)" jelasnya saat dihubungi
detikcom.
Iva menuturkan, tim investigasi tersebut mendatangi lokasi kejadian pada Bulan Mei 2018. Selesai menggali informasi dari sejumlah pihak, akhirnya tim ini mengeluarkan sejumlah rekomendasi yang harus dilaksanakan pihak kampus.
"Laporan (dari tim diserahkan) Juni 2018. Rekomendasi itu sudah dilaksanakan sebagian besar sesuai dengan rekomendasi tim. Jadi tim itu memberikan rekomendasi juga atas persetujuan terduga pelaku dan juga penyintas," ujarnya.
Adapun sejumlah rekomendasi dari tim seperti memperbaiki nilai KKN korban. Awalnya korban mendapatkan nilai C oleh dosen pembimbing lapangan (DPL) karena tersandung kasus ini. Kini nilai KKN korban telah diubah menjadi A/B.
Selain itu, baik pelaku maupun korban juga harus menjalani pendampingan psikologis. Sebelum pendampingan psikologis selesai mereka tidak bisa lulus kuliah, meski mereka telah menyelesaikan administrasi akademiknya.
"Saya perlu memberikan penjelasan bahwa pelaku sampai saat ini kewajiban administrasi akademiknya sudah selesai, tetapi belum lulus. Karena masih harus menjalani tim pendampingan psikologis," ujar Iva yang juga dosen Fakultas Filsafat UGM ini.
Sementara kini, pihak UGM masih membuka opsi untuk membawa kasus pelecehan seksual ini ke ranah hukum. Opsi tersebut diambil apabila korban tetap tidak puas dengan penyelesaian internal yang telah dijalankan pihak kampus.
"Kalau memang ternyata langkah-langkah dari tim investigasi independen (UGM) itu belum memberikan rasa keadilan bagi si penyintas (korban), maka kita akan membantu si penyintas itu untuk mencari keadilan," tutupnya.